Hari ini aku kerja, sewaktu aku cek emailku, eh ternyata ada email dari sahabatku yg jauh nun di Bandung sana, dia email aku dan menceritarenungan seorang temannya itu, pokoknya seru dan menggugah hati serta bikin memotivasi diri, tidak percaya..?
nich aku berikan ceritanya...Bu, lapar !, rengek anak kecil yang sedang berada di pangkuannya. Wanita itu
menatap dengan lembut anaknya. Hatinya terasa teriris-iris. Dipandangi gubug
reyot tempatnya tinggal, tidak ada sama sekali makanan yang masih tersisa.
Hanya ada air putih yang masih tersisa di dalam kendi tanah diatas meja.
Perlahan diraihnya kendi tanah itu dan mengulurkan kucunya ke mulut anak
semata wayangnya. Sang anak meneguk tiga kali berusaha menghilangkan rasa
lapar dengan meminum air.
Anak kecil itu menatap wajah ibunya dengan penuh rasa sayang, seakan ingin
mengucapkan rasa terima kasih yang sangat dalam. Tangan kecilnya meraih
keatas mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.
"Mengapa ibu menangis", tanya sang anak perlahan.
Wanita itu menghela nafas panjang, dia berfikir tidak mungkin menjelaskan
apa yang sedang difikirkannya kepada anak kecil ini. Ini tentang beban
hidupnya yang sangat berat, bahkan dia selalu berusaha tegar terhadap semua
keterbatasan yang dia miliki.
"Nggak apa-apa kok sayang, bobok lagi saja !", ujar sang wanita lembut
seakan ingin menciptakan ketentraman di hati anaknya.
Sang anak menatap lebih dalam ke arah mata ibunya, seakan mencoba mencari
tahu alasan mengapa ibunya menangis.
"Aku tahu beban ibu sangat berat", celetuk polos sang anak yang membuat
ibunya sedikit tersentak.
"Aku tahu dengan segala keterbatasan ibu, ibu selalu berusaha untuk
mencukupi segala kebutuhanku. Ibu menjadi buruh mencuci, kadang-kadang ibu
mengumpulkan sisa-sisa sampah untuk dijual lagi. Aku tahu ibu melakukan itu
semua agar aku bisa makan", anak kecil itu terus berceloteh untuk membuat
ibunya bangga.
"Tapi ibu tidak bisa menyekolahkanmu anakku !", jawab sang ibu dengan penuh
penyesalan.
"Ibuku sayang !", kata sang anak sambil bangkit dari tidurnya. Diletakkan
kedua tangannya di pangkuan ibunya seakan ingin memberikan kekuatan kepada
orang yang paling dicintainya.
"Ibu tidak menyekolahkanku, tetapi setiap malam ibu mengajariku membaca,
berhitung, mengaji, atau pengetahuan-pengetahuan baru dari kertas koran
bekas yang kita kumpulkan. Semakin hari aku semakin mengerti tentang
ilmu-ilmu baru, bahkan mungkin jauh lebih banyak dari teman-teman sebayaku",
jawab sang anak tulus dan bangga.
"Iya, tapi aku tak mampu menyekolahkanmu di SD di kampung kita. Coba kalau
ibu mampu maka kamu nanti bisa punya ijasah melanjutkan ke sekolah yang
lebih tinggi dan masa depanmu akan lebih baik", sang ibu menjawab sambil
tertunduk seakan merasa telah mengeluh terlalu dalam kepada anaknya.
Sang anak kecil menggeser duduknya tepat dihadapan sang ibu. Dia tersenyum
sangat manis, dipijatnya kaki wanita didepannya. Seorang wanita cantik
sebenarnya, tetapi nampak lebih tua dari umur yang sebenarnya, apalagi dia
harus hidup sendiri sepeninggal suaminya.
"Ibuku sayang, dengan semua yang ibu bisa, ibu sudah memberikan yang terbaik
untuk kehidupanku. Aku bersyukur karena mendapatkan limpahan kasih sayang
yang tiada tara. Ibu selalu mengajariku semua yang seharusnya aku tahu. Ibu
selalu berada disampingku pada saat aku membutuhkannya. Aku memang ingin
sekolah di SD di kampung kita, tetapi aku lebih ingin mendapatkan cinta yang
aku rasakan selama ini. Aku memang ingin hidup berlimpah ruah seperti
anak-anak kecil sebayaku, tetapi aku lebih ingin hidup disampingmu karena
aku selalu mendapatkan limpah ruah kasih sayang yang selama ini aku
butuhkan.".
Sambil mendekatkan wajah, anak kecil itu melanjutkan perkataannya, "Bu,
mencintai tak harus sama, ketulusan untuk mewujudkan cinta jauh lebih
penting dari sekedar menyamakannya dengan kehidupan orang lain."
Dipeluknya wanita itu dengan penuh kasih sayang, "Bobok lagi yuk, ibu harus
istirahat, besok kita janji jam setengah enam sudah di rumah Pak Hadi untuk
mencuci baju"
Anak kecil itu menarik selimut kumalnya sampai ke dada. Membiarkan wanita
itu berurai air mata. Tetapi kali ini bukan karena kesedihan meratapi nasib,
justru karena syukur yang amat dalam karena Tuhan mengirimkan malaikat kecil
untuk mendampingi dan memperkuat hidupnya.